tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan anggaran pelaksanaan Pemilu 2024 mencapai Rp110 triliun. Kebutuhan tersebut meliputi anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp76,6 triliun dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) senilai Rp33,8 triliun.
Jokowi ingin anggaran tersebut segera dipersiapkan dan dihitung dengan matang. Termasuk alokasi dana baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet melihat, kebutuhan anggaran pemilu 2024 sepenuhnya akan dibiayai oleh APBN. Sebab, perhelatan lima tahunan ini, merupakan agenda pemerintah yang akan dibiayai negara.
"Secara umum ini [Pemilu] akan dibiayai oleh APBN. Diskusinya sekarang apakah kemudian ini akan misalnya bebani APBN atau tidak?" kata Yusuf mempertanyakan, saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/4/2022).
Yusuf mengumpamakan, jika dilihat dari kontribusi belanja secara keseluruhan, belanja APBN pada tahun ini berada di kisaran Rp2.000 triliun. Jika ongkos Pemilu hanya Rp110 triliun, maka share dari belanja pemerintah hanya sekitar 5-10 persen saja.
"Saya kira itu tidak akan membebani APBN melihat dari ukurannya relatif kecil dibandingkan dengan total belanja keseluruhan," ujarnya.
Sementara, terkait dengan anggaran Pemilu Serentak 2024 yang cukup besar dibandingkan penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya, ini tidak terlepas dari rencana penyelenggaraan Pilpres yang beriringan dengan pemilihan calon anggota DPR-DPRD, serta gubernur, bupati, dan wali kota.
"Jadi kemudian ini yang membuat besar," imbuh Yusuf.
Yusuf melihat, kebutuhan anggaran Pemilu 2024 masih bersifat dinamis, karena nantinya akan dirancang dalam APBN 2023. Bahkan ada kemungkinan jumlahnya bertambah dari ada saat ini sebesar Rp110 triliun.
"Masih dinamis bisa bertambah untuk kebutuhan yang mungkin belum masuk perhitungan disampaikan saat ini," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah sendiri memiliki batas waktu mengendalikan defisit APBN di atas 3 persen maksimal pada 2023. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, karena berkaitan dengan tren pemulihan ekonomi nasional dan mendekati pelaksanaan Pemilu 2024.
"Pertanyaannya akankah menghambat upaya pemerintah untuk balik ke defisit 3 persen? Menurut saya kalaupun ada kemungkinannya relatif kecil. Karena di sisi penerimaan harusnya dengan pemulihan ekonomi berjalan di tahun ini dan tahun depan sisi penerimaan pasti naik," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri